Informasiuntukumum_ Mulanya kumpul-kumpul sesama pecinta motor,
kemudian berubah jadi geng yang beranggotakan puluhan bahkan ratusan orang. Di
jalanan, mereka membentuk gaya hidup yang terkadang menyimpang dari kelaziman
demi menancapkan identitas kelompok.
Ngetrack, kebut-kebutan, dan tawuran adalah
upaya dalam pencarian identitas itu. KAWASAN Cilaki, Bandung, suatu sore.
Matahari mulai menepi. Tak seluruh siluetnya jatuh ke jalanan.
Kerimbunan pepohonan menghalanginya. Dalam
teduh, tiga remaja terlihat sedang duduk-duduk. Mereka pelajar sekolah menengah
atas yang sedang membunuh waktu, menunggu tibanya jadwal bimbingan belajar.
Dari kejauhan, sepeda-sepeda motor
menderu-deru. Jumlahnya belasan. Mereka jalan beriringan. Pedalnya dibuat
meraung-raung, walau kecepatannya tak lebih kencang dari pembalap paling bego
sekalipun. Mereka melintasi tiga pelajar itu. Mereka, seperti tiga pelajar itu,
semuanya berseragam putih abu.
Tapi kedua kelompok jelas dari sekolah yang
berbeda, dan mungkin tak saling kenal. Sebagian pengendara menyembunyikan
seragam putih-abu itu di dalam jaketnya. Tepat di depan ketiga pelajar, salah
satu pengendara motor terjatuh, seperti disengaja.
Sontak saja teman-temannya melimpahkan
kesalahan kepada tiga pelajar itu. “Maneh budak mana, tong macem-macem ka
aing,” bentak salah satu pengendara motor itu. (Kamu anak mana, jangan
macam-macam.) Tiga pelajar tadi tak merespon.
Merasa di atas angin, para pengendara itu
melampiaskan kebinatangannya. Salah seorang mulai memukul. Dan ketika ketiga
pelajar itu tak menunjukkan perlawanan, yang lain makin berani dan mulai ikut
memukul.
Adegan selanjutnya sudah bisa diduga,
pengeroyokan tanpa alasan berlangsung dalam waktu cepat. Dua di antara tiga
pelajar itu babak belur. Antoni Adi Krisna, salah satu pelajar dari SMUN 9
Bandung , dipukuli bertubi-tubi. Darah segar mengalir dari hidungnya.
Pelajar lainnya dari sekolah yang sama, Muri
Nugraha, dipaksa untuk menyerahkan barang berharga. Dompet pun melayang.
Seorang lagi, Rizal Satria pelajar SMUN 2 Bandung, selamat dari aniaya itu. Ia
mengambil langkah seribu. Usai beraksi, geng tadi berlalu.
Seorang pengendara tak lupa berseru dengan
pongah “Aing raja jalanan tong macem-macem ka aing.” (Aku raja jalanan, jangan
macam-macam). Suara knalpot memecah telinga, kemudian sunyi. “Saya dan pedagang
lain melihat kejadian itu, tapi tidak satupun di antara kami yang berani
melawan mereka.
Belum ada tanggapan untuk "KISAH SEJARAH KEBRUTALAN GENG MOTOR DI BANDUNG"
Posting Komentar