Banyak literatur yang mendefinisikan hak
asasi sebagai hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah
dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Definisi itu kurang tepat sebab muncul pertanyaan
penting. Apakah sebelum lahir, janin yang ada di dalam perut tidak memiliki hak
asasi?
Pemahaman yang kurang tepat seperti itu bisa
memunculkan fenomena seperti di Belanda terkait dengan kode etik dokter
kandungan. Manakala ada pasien yang secara medis dinyatakan hamil, maka dokter
harus memastikan dengan bertanya sampai tiga kali apakah ibu yang mengandung
tersebut bahagia dengan kehamilan itu. Kalau memang ibu tidak bahagia atau
tidak menghendaki kehamilan tersebut, dokter dapat melakukan aborsi terhadap
janin tersebut. Aborsi adalah tindakan yang dilegalkan oleh pemerintah Belanda.
Alasan diperbolehkan aborsi adalah bahwa
setiap ibu punya hak untuk hamil atau tidak hamil. Tidak dipikirkan tentang hak
janin untuk hidup. Inilah problem mendasar ketika hak asasi manusia dipandang
hanya melekat pada manusia sejak lahir.
Akan lebih tepat dikatakan bahwa hak asasi
melekat pada diri manusia sejak proses terjadinya manusia. Janin punya hak
hidup meskipun belum dapat berbicara apalagi menuntut hak. Aborsi tidak dapat
dibenarkan hanya karena orang tua tidak menginginkan kehamilan, namun tentu
bisa dibenarkan manakala ada alasan-alasan khusus misal secara medis kehamilan
tersebut membahayakan sang ibu.
Oleh karena itu tepat kiranya mengacu pada
pengertian hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 yang menyebutkan: “Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintahan, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Adapun kewajiban asasi adalah kewajiban dasar
yang harus dijalankan oleh seseorang dalam kaitannya dengan kepentingan dirinya
sendiri, alam semesta, masyarakat, bangsa, negara maupun kedudukannya sebagai
makhluk Tuhan. Ini adalah kewajiban dalam arti yang luas, yang tentu tidak akan
dibahas semua dalam bab ini. Kewajiban terhadap diri banyak dibicarakan dalam
ilmu ilmu terkait dengan kepribadian dan kesehatan, kewajiban terhadap alam
dibicarakan dalam etika lingkungan, kewajiban sebagai makhluk Tuhan dibicarakan
dalam agama, sedangkan dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan berbicara
masalah kewajiban terkait dengan hubungan antar warganegara maupun antara warga
negara dengan negara.
Antara hak dan kewajiban harus dipenuhi
manusia secara seimbang. Pada masyarakat Barat hak asasi lebih menjadi wacana
yang dominan daripada kewajiban asasi. Hal ini bisa dipahami dari pandangan
hidup masyarakat Barat yang individualis. Pada masyarakat individualis segala
sesuatu dimulai dari diriku (aku). Meskipun mereka tidak melupakan hak orang lain,
karena pada masyarakat yang individualismenya sudah matang justru kesadaran
akan hakku didasari pula oleh pemahaman bahwa setiap orang juga ingin dihargai
haknya. Sehingga yang terjadi masing-masing individu saling menghargai individu
yang lain. Berangkat dari hakku inilah kemudian lahir kewajiban-kewajiban agar
hak-hak individu tersebut dapat terpenuhi.
Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang
dikenal sebagai masyarakat Timur. Karakter masyarakat Timur lebih menekankan
hak orang lain daripada hak dirinya sendiri. Hak diri seringkali dileburkan
dalam hak kolektif/sosial. Seseorang jarang ingin menonjol secara pribadi namun
cenderung lebih menonjolkan sisi kolektifnya. Hal ini banyak dilihat dari
karya-karya sebenarnya karya individu namun tidak diketahui identitas
penciptanya, seperti banyak lagu-lagu daerah yang tidak dikenal siapa
penciptnya. Sang pencipta seringkali menyembunyikan diri dalam kolektifitas
sehingga karya tersebut dikenal sebagai karya bersama. Misal lagu Gundul-gundul
Pacul dari Jawa, lagu O Ina Ni Keke dari Sulawesi Utara, tanpa kita mengetahui
siapa pengarang sesungguhnya.
Dalam kondisi masyarakat demikian kewajiban
lebih menonjol daripada hak, karena orang lebih cenderung berbuat untuk orang
lain daripada diri sendiri. Ketika seseorang berbuat untuk orang lain yang itu
dipahami sebagai kewajibannya, maka otomatis orang lain akan mendapatkan
haknya, demikian pula ketika orang lain menjalankan kewajibannya maka kita juga
mendapatkan hak kita. Perdebatan hak dulu atau kewajiban dulu bisa didekati
dengan pendekatan yang lebih sosio-kultural dari masyarakatnya, sehingga kita
lebih bijaksana dalam melihat persoalan hak dan kewajiban ini.
Pandangan Kartasaputra ini menunjukkan
keluasan persoalan hak asasi manusia yang akan terus berkembang seiring dengan
perkembangan pemikiran dan kebudayaan manusia. Hal yang penting dalam persoalan
hak asasi ini adalah apa yang menjadi titik tolak dari hak asasi tersebut,
berpusat pada manusia atau pada Tuhan. Hak asasi yang berpusat pada manusia
akan mengkonstruksi hak asasi tersebut beranjak dari kebebasan manusia.
Oleh karena manusia mempunyai kecenderungan
memiliki kebebasan tanpa batas, maka mereka menuntut formalisasi hak asasi atas
kebebasan itu, misalnya tuntutan legalisasi perkawinan sesama jenis, pornografi
dan lain-lain. Hak asasi yang berpusat pada manusia akan mengesampingkan
nilai-nilai ketuhanan. Sedangkan hak asasi yang berpusat pada Tuhan akan
menjadikan nilai dan kaidah ketuhanan sebagai dasar perumusan hak asasi.
Kebabasan manusia selalu ditempatkan pada kerangka kaidah ketuhanan.
Belum ada tanggapan untuk "Pengertian Hak dan Kewajiban Yang Benar"
Posting Komentar