Informasiuntukumum
- Tetapi berbeda dengan DI/TII di Jawa Barat, perlawanan Amir Fatah tidak
terlalu lama. Kurangnya dukungan dari penduduk membuat perlawanannya cepat
berakhir. Desember 1951, ia menyerah.
Selain
Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin oleh
Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu.
Ia
didukung oleh laskar bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak didirikan
memang berkeinginan menciptakan suatu negara Indonesia yang berdasarkan
prinsip-prinsip Islam.
Meski
demikian, dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya AUI bahu
membahu dengan Tentara Republik dalam menghadapi Belanda.
Wilayah
operasional AUI berada daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan Jawa
Tengah.
Namun
kerjasama antara AUI dengan Tentara RI mulai pecah ketika pemerintah hendak
melakukan demobilisasi AUI. Ajakan pemerintah untuk berunding ditolak Kyai
Sumolangu.
Pada
akhir Juli 1950 Kyai Sumolangu melakukan pemberontakan. Sesudah sebulan
bertempur, tentara RI berhasil menumpas pemberontakan ini.
Ratusan
pemberontak dinyatakan tewas dan sebagian besar berhasil ditawan. Sebagian
lainnya melarikan diri dan bergabung dengan pasukan TII di Brebes dan Tegal.
Akibat pemberontakan ini kehancuran yang diderita di Kebumen besar sekali.
Ribuan
rakyat mengungsi dan ratusan orang ikut terbunuh. Selain itu desa-desa juga
mengalami kerusakan berat.
Pemberontakan
Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426 dari Divisi
Diponegoro Jawa Tengah.
Ini
adalah tentara Indonesia yang anggota-anggotanya berasal dari laskar Hizbullah.
Simpati dan kerjasama mereka dengan Darul Islam pun jadinya tampak karena
DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah.
Cakupan
wilayah gerakan Batalyon 426 dalam pertempuran dengan pasukan RI adalah Kudus,
Klaten hingga Surakarta.Walaupun dianggap kuat dan membahayakan, namun hanya
dalam beberapa bulan saja, pemberontakan Batalyon 426 ini juga berhasil
ditumpas.
Selain
di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di Sulawesi
Selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar.
Pada
tahap awal, pemberontakan ini lebih disebabkan akibat ketidak puasan para bekas
pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk
Tentara Republik dan demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan.
Namun
beberapa tahun kemudian pemberontakan malah beralih dengan bergabungnya mereka
ke dalam DI/TII Kartosuwiryo.
Tokoh
Kahar Muzakkar sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah berjuang di Jawa
bahkan menjadi komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang bermarkas di
Yogyakarta.
Setelah
pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu ditugaskan ke daerah asalnya untuk
membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando Gerilya Sulawesi Selatan
(KGSS) di sana. KGSS dibentuk
sewaktu
perang kemerdekaan dan berkekuatan 16 batalyon atau satu divisi.
Pemerintah
ingin agar kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk kemudian dilakukan
re-organisasi tentara kembali. Semua itu dalam rangka penataan ketentaraan.
Namun anggota KGSS menolaknya.
Begitu
tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia Timur menjadi
koordinator KGSS, agar mudah menyelesaikan persoalan.
Namun
Kahar Muzakkar malah menuntut kepada Panglimanya agar KGSS bukan dibubarkan,
melainkan minta agar seluruh anggota KGSS dijadikan tentara dengan nama Brigade
Hasanuddin.
Tuntutan
ini langsung ditolak karena pemerintah berkebijakan hanya akan menerima anggota
KGSS yang memenuhi syarat sebagai tentara dan lulus seleksi.
Kahar
Muzakkar tidak menerima kebijakan ini dan memilih berontak diikuti oleh pasukan
pengikutnya.
Selama
masa pemberontakan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953 menyatakan diri
sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo.
Pemberontakan
yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu lama untuk menumpasnya.
Pemberontakan baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar tewas
tertembak dalam suatu penyergapan.
Pemberontakan
yang berkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan. Namun
dibandingkan dengan gerakan DI/TII yang lain, ini adalah pemberontakan yang
relatif kecil, dimana pemberontak tidak menguasai daerah yang luas dan
pergerakan pasukan yang besar.
Meski
begitu, pemberontakan
berlangsung
lama dan berlarut-larut hingga tahun 1963 saat Ibnu Hajar, pemimpinnya,
tertangkap.
Timbulnya
pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sesungguhnya bisa ditelusuri hingga
tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV, sebagai
pasukan utama Indonesia dalam menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan, telah
tumbuh menjadi tentara yang kuat dan berpengaruh
di
wilayah tersebut.
Namun
ketika penataan ketentaraan mulai dilakukan di Kalimantan Selatan oleh
pemerintah pusat di Jawa, tidak sedikit anggota ALRI Divisi IV yang merasa
kecewa karena diantara mereka ada yang harus didemobilisasi atau mendapatkan
posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Suasana
mulai resah dan keamanan di Kalimantan Selatan mulai terganggu.
Penangkapan-penangkapan terhadap mantan anggota ALRI Divisi IV terjadi.
Salah
satu alasannya adalah karena diantara mereka ada yang mencoba menghasut mantan
anggota ALRI yang lain untuk memberontak.
Diantara
para pembelot mantan anggota ALRI Divisi IV adalah Letnan Dua Ibnu Hajar.
Dikenal
sebagai figur berwatak keras, dengan cepat ia berhasil mengumpulkan pengikut,
terutama di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang kecewa terhadap pemerintah.
Ibnu
Hajar bahkan menamai pasukan barunya sebagai Kesatuan Rakyat Indonesia yang
Tertindas (KRIyT). Kerusuhan segera saja terjadi.
Berbagai
penyelesaian damai coba dilakukan pemerintah, namun upaya ini terus mengalami
kegagalan. Pemberontakan pun pecah.
Akhir
tahun 1954, Ibnu Hajar memilih untuk bergabung dengan pemerintahan DI/TII
Kartosuwiryo, yang menawarkan kepadanya jabatan dalam pemerintahan DI/TII
sekaligus Panglima TII Kalimantan.
Konflik
dengan tentara Republik pun tetap terus berlangsung bertahun-tahun. Baru pada
tahun 1963, Ibnu Hajar menyerah. Ia berharap mendapat pengampunan. Namun
pengadilan militer menjatuhinya hukuman mati.
Daerah
pemberontakan DI/TII berikutnya adalah Aceh. Ada sebab dan akhir yang berbeda
antara pemberontakan di daerah ini dengan daerah-daerah DI/ TII lainnya.
Di
Aceh, pemicu langsung pecahnya pemberontakan adalah ketika pada tahun 1950
pemerintah menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari propinsi Sumatera Utara.
Para
ulama Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal
ini. Bagi mereka, pemerintah terlihat tidak menghargai masyarakat Aceh yang
telah berjuang membela republik.
Mereka
menuntut agar Aceh memiliki otonomi sendiri dan mengancam akan bertindak bila
tuntutan mereka tak dipenuhi. Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah Daud
Beureuh.
Pemerintah
pusat kemudian berupaya menempuh jalan pertemuan. Wakil Presiden M. Hatta
(1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951), bahkan Soekarno (1953?) menyempatkan
diri ke Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini, namun mengalami kegagalan.
Akhirnya
pada tahun 1953, setelah Daud Beureuh melakukan kontak dengan Kartosuwiryo, ia
menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang dipimpin
Kartosuwiryo.
Konflik
antara pengikut Daud Beureuh dengan tentara RI pun berkecamuk dan tak menentu
selama beberapa tahun, sebelum akhirnya pemerintah mengakomodasi dan menjadikan
Aceh sebagai daerah istimewa pada tahun 1959.
Tiga
tahun setelah itu Daud Beureuh kembali dari pertempuran yang telah selesai. Ia
mendapat pengampunan.
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Pemberontakan DI/TII"
Posting Komentar