Informasiuntukumum
- Jadi, makna peringatan Kebangkitan Nasional sebagaimana dimaksud Bung Karno
di atas, adalah untuk memperkuat kesatuan bangsa, khususnya dalam menghadapi
Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia.
Apalagi
di awal tahun itu muncul pula kelompok dengan garis perjuangan ideologi yang
dapat menghancurkan integrasi bangsa dan ideologi negara Indonesia.
Awal
tahun 1948, Muso baru kembali dari Moskwa dengan menawarkan doktrin “Jalan
Baru” sebagai strategi perjuangan bangsa yang berbeda dari strategi yang
dijalankan pemerintah Soekarno-Hatta.
Doktrin
Muso ini mempengaruhi kubu Amir Syarifuddin dengan membentuk Front Demokrasi
Rakyat (FDR) yang berpaham “kiri”.
Hubungan
antara FDR dengan kubu nasionalis dan Islam pun kian meruncing. Pertikaian
ideologi yang tajam tersebut berakhir pada pecahnya pemberontakan PKI di Madiun
pada 18 September 1948.
Selain
itu, akibat perundingan Renville, sebanyak 35.000 anggota TNI juga dipaksa untuk
meninggalkan wilayah yang diklaim Belanda menuju daerah Republik Indonesia yang
beribu kota di Yogyakarta.
Tiga
bulan setelahnya, Belanda melancarkan agresi militer dengan menduduki ibu kota
Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Presiden dan Wakil Presiden serta beberapa
pejabat tinggi negara ditangkap dan diasingkan ke Bangka.
Meski
demikian Presiden masih sempat memberikan mandat kepada Syafrudin Prawiranegara
untuk menjadi ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat.
Bahkan
Soekarno juga memerintahkan kepada Soedarsono dan LN. Palar untuk siap
mengantisipasi bila suatu ketika terpaksa mendirikan pemerintahan pengasingan
di India, meski hal ini akhirnya tidak terjadi.
Dengan
kondisi kritis seperti itu maka Republik Indonesia dapat digambarkan bagai
“sebutir telur di ujung tanduk”.
Namun
demikian Panglima Besar Soedirman sekeluarnya dari Yogyakarta, langsung
memimpin pasukannya untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda dengan
melakukan perang gerilya.
Sementara
Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun
rencana pertahanan rakyat yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat Nomor 1
yang salah satu pokoknya adalah menyusupkan pasukan-pasukan yang berasal dari
daerahdaerah federal ke garis belakang musuh dan membentuk kantong-kantong
gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.
Dapat
pula dikemukakan peran Sultan Hamengkubuwono IX yang telah memberikan dukungan
fasilitas
dan
finansial untuk keberlangsungan berjalannya pemerintahan Republik yang
ditinggalkan para pemimpinnya tersebut.
Menurut
Kahin, dua kekuatan inilah yang menjadi sumber perlawanan terhadap Belanda yang
pada akhirnya memaksa Belanda untuk mengakhir perang menuju Konferensi Meja
Bundar (KMB).
Kedua
kekuatan yang digerakan oleh unsur sipil dan tentara yang melakukan gerilya
menjadi amunisi yang ampuh bagi para diplomat kita yang terus berunding di
forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Dengan
strategi perjuangan tersebut di atas dengan mendapat tekanan Internasional dan
dari Amerika Serikat sendiri yang mengancam akan menghentikan bantuan Marshall
Plan, maka Belanda terpaksa menandatangani perjanjian KMB yang berisi
“penyerahan kedaulatan” (souvereniteit overdracht).
Situasi
dan kondisi perjuangan sebagaimana digambarkan di atas itulah yang menjadi
makna nilai persatuan dari peringatan kebangkitan nasional ke 40 di tahun 1948,
yang menggerakkan perjuangan bangsa Indonesia yang pantang menyerah dan pada
akhirnya dapat mengakhiri upaya Belanda untuk kembali menjajah.
Ancaman
disintegrasi (perpecahan) bangsa memang bukan persoalan main-main. Tak hanya
merupakan masalah di masa lalu. Potensi disintegrasi pada masa kinipun bukan
tidak mungkin terjadi.
Karena
itulah kita harus terus dan selalu memahami betapa berbahayanya proses
disintegrasi bangsa bila terjadi bagi kebangsaan kita. Sejarah Indonesia telah
menunjukkan hal tersebut.
Belum ada tanggapan untuk "Peran Sultan Hamengkubuwono Ix Dalam Perjuangan Bangsa"
Posting Komentar